Senin, 23 Mei 2011

Sosiologi: GEJALA DISINTEGRASI NASIONAL

GEJALA DISINTEGRASI NASIONAL

Disintegrasi sosial merupakan suatu masalah social yang ada di Indonesia, menurut Soerjono Soekanto masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Jika terjadi bentrokan antara unsur-unsur yang ada dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti kegoyahan dalam kehidupan kelompok atau masyarakat.

Disintegrasi secara harfiah dipahamisebagai perpecahan suatu bangsa menjadi bagian-bagian yang terpisah-pisah

Sedangkan disintegrasi social sendiri terjadi ketika unsur-unsur sosial yang berbeda yang ada dalam masyarakat tidak mampu menyesuaikan diri satu sama lain. Ketika unsur sosial yang satu memaksakan diri, maka unsur sosial yang lainnya akan memberontak atau melawan.

Jadi disintegrasi nasional merupakan suatu masalah social yang didalamnya ada masyarakat yang tidak mampu menyesuaikan diri satu sama lain secara nasional. Maksud secara nasional disini, disintegrasi nasional yang terjadi sehingga dapat mempengaruhi keadaan masyarakat secara menyeluruh.

Di samping itu, bahaya disintegrasi bangsa dan negara yang berhadapan dengan kecenderungan baru di kalangan negara-negara Barat -- baik melalui PBB maupun melalui bentuk kerjasama lainnya -- melakukan "intervensi kemanusiaan", kalau perlu dengan kekuatan militer. Jika Pemerintah Indonesia tidak dapat mencapai penyelesaian politik atas masalah-masalah di Aceh, Ambon, dan Irian Jaya misalnya, maka hal ini akan membuka peluang bagi negara-negara Barat, LSM-LSM Barat, maupun elemen-elemen separatis di dalam negeri untuk mendesak masyarakat internasional agar melakukan "intervensi kemanusiaan" yang akan melanggar kedaulatan Indonesia. Dalam upaya menyikapi tantangan disintegrasi tersebut, Pemerintah akan melaksanakan secara sungguh-sungguh. Di samping itu yang perlu juga diupayakan adalah keharmonisan sikap di antara elite politik termasuk pejabat negara dalam menyikapi proses penyelesaian masalah-masalah penting tersebut. Kita ambil contoh, Gerakan Aceh Merdeka

GAM adalah sebuah organisasi (yang dianggap separatis) yang memiliki tujuan supaya daerah Aceh atau yang sekarang secara resmi disebut Nanggroe Aceh Darussalam lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik antara pemerintah dan GAM yang diakibatkan perbedaan keinginan ini telah berlangsung sejak tahun 1976 dan menyebabkan jatuhnya hampir sekitar 15.000 jiwa. Gerakan ini juga dikenal dengan nama Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF). GAM dipimpin oleh Hasan di Tiro yang sekarang bermukim di Swedia dan berkewarganegaraan Swedia.
Pada 27 Februari 2005, pihak GAM dan pemerintah memulai tahap perundingan di Vantaa, Finlandia. Mantan presiden Finlandia Marti Ahtisaari berperan sebagai fasilitator.
Pada 17 Juli 2005, setelah perundingan selama 25 hari, tim perunding Indonesia berhasil mencapai kesepakatan damai dengan GAM di Vantaa, Helsinki, Finlandia. Penandatanganan nota kesepakatan damai dilangsungkan pada 15 Agustus 2005. Proses perdamaian selanjutnya dipantau oleh sebuah tim yang bernama Aceh Monitoring Mission (AMM) yang beranggotakan lima negara ASEAN dan beberapa negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Di antara poin pentingnya adalah bahwa pemerintah Indonesia akan turut memfasilitasi pembentukan partai politik lokal di Aceh dan pemberian amnesti bagi anggota GAM.
Seluruh senjata GAM yang mencapai 840 pucuk selesai diserahkan kepada AMM pada 19 Desember 2005. Kemudian pada 27 Desember, GAM melalui juru bicara militernya, Sofyan Daud, menyatakan bahwa sayap militer mereka telah dibubarkan secara formal.
Walaupun pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah  belum dapat mengatasi masalah Aceh, karena tuntutan mereka telah demikian besar, maka pendekatan integral dan multidimensional sangat diperlukan. Proses dialog Pemerintah RI dengan faksi-faksi GAM yang disponsori oleh Henry Dunant Center for Humanitarian Dialogue (HDC)  telah berlangsung sejak Januari 2000. Pada tanggal 12 Mei proses tersebut telah menghasilkan Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh (Kesepahaman Bersama mengenai Jeka Kemanusiaan untuk Aceh) di Swiss. Kesepahaman Bersama ini meliputi upaya bersama, baik untuk meningkatkan bantuan kemanusiaan maupun pengurangan ketegangan dan penghentian kekerasan di Aceh. Kedua pihak setuju untuk membentuk Komite Bersama Langkah Kemanusiaan dan Komite Bersama Modalitas Keamanan, serta Forum Bersama yang berkedudukan di Swiss. 
Sedangkan pada masalah Irian Jaya upaya lain yang dilakukan pihak Pemerintah adalah dengan menginstruksikan kepada seluruh perwakilan RI di luar negeri untuk menyampaikan penjelasan posisi RI terhadap Kongres Rakyat Papua. Demikian pula kepada para Kepala Perwakilan negara asing di Jakarta dan meminta untuk mengeluarkan pernyataan atas dukungan penuh terhadap integritas teritorial terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Perjainjian New York tahun 1962 dan Resolusi SMU PBB No. 2504 (XXIV) Tahun 1969. Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang terlibat dalam terlaksananya Perjanjian New York tahun 1962 telah menyetujui usul tersebut. Selain itu, perlu juga dipikirkan peningkatan peran RI di kawasan Pasifik Selatan, terutama hubungan bilateral RI-PNG dan RI-Australia, serta membuka perwakilan RI di Fiji dan menjadi negara mitra dalam Forum Kepulauan Pasifik. 
Penuntasan berbagai residu permasalahan lepasnya Timor Timur, terutama penanganan pengungsi dan tuduhan pelanggaran HAM secara proporsiaonal dan "elegan" tidak pula kalah pentingnya dalam menghadapi sikap sementara masyarakat internasional yang cenderung semakin intrusif.
Sedangkan untuk mengantisipasi berbagai faktor yang menimbulkan gejala disintegrasi di masa depan, perlu adanya persamaan persepsi dan mengembangkan rekonsiliasi nasional. Forum Regional ASEAN (ARF) dan pertemuan besar resmi pertama "ASEAN + 3" di Bangkok bulan Juli 2000 menegaskan kembali dukungan kepada keutuhan wilayah Indonesia serta cara penyelesaian damai yang dilakukan pemerintah RI menghadapi masalah-masalah Aceh dan Papua. Dalam perspektif yang lebih luas, upaya pembentukan "code of conduct" antara ASEAN dan China serta mekanisme penyelesaian konflik melalui "Troika ASEAN" akan dapat menciptakan situasi kondusif stabilitas dan keamanan kawasan.
Gejala disintegrasi bangsa di era reformasi dewasa ini telah menjadi "lampu merah" untuk bangsa ini. Tanpa harus mengecilkan arti nilai-nilai normatif etnisitas (kesukuan) dan tradisi, selayaknya kita patut memahami bahwa kebudayaan tidak identik dengan ornamen semata, seperti tari, musik, bangunan-bangunan kuno, dan peninggalan sejarah, karena kebudayaan harus dilihat sebagai suatu bentuk masa depan bagi masyarakat yang sedang mengalami transisi di era reformasi.
Dalam pandangan yang universal, Indonesia saat ini yang notabene "terancam" disintegrasi, mengedepankan semangat kesukuan dan primordialisme menjadi penting, terutama kalau kita tekankan pada orientasi, bahwa paguyuban yang selalu muncul bukanlah suatu bentuk polarisasi, melainkan justru suatu proses pembelajaran yang faktual, bahwa negeri ini memang patut mempunyai pilar normatif yang dinamis lewat etnisitas.

Ini artinya, setidaknya terdapat tiga strategi kebudayaan untuk mencegah terjadinya disintegrasi. Pertama, metamorfosis etnisitas dan tradisi harus bersenyawa baik dalam lingkupnya sendiri maupun dengan semangat globalisasi. Kedua, beragam suku dan tradisi di Indonesia merupakan pilar-pilar penyangga untuk diteruskan dan disesuaikan dengan pembaruan yang ada sesuai dengan perubahan sosial. Ketiga Indonesia sebagai suatu negara yang tak terlepas dari nilai-nilai moralitas agama, wanti-wanti harus mengadaptasi ritualisme setiap kesukuan dan ritualisme yang teraktualisasi lewat tradisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar